Jumat, 18 November 2011

Tidak Selamanya Paradigma Empiris-Positivistik dan Post-Positivistik Bersifat Dikotomi

Paradigma empiris-positivistik dan post-positivistik memang merupakan dua paradigma yang berbeda, namun tidak selamanya kedua paradigma tersebut harus dipisahkan dalam implementasinya khususnya dalam ranah penelitian. Menurut studi literatur yang dilakukan Lin (1998) berjudul “Bridging Positivist and Interpretivist Approach to Qualitative Approach”, paradigma empiris-positivistik dan post-positivistik khususnya interpretivistik terefleksikan di dalam metode penelitian khususnya metode kualitatif. Menurut Lin kedua paradigma mainstream tersebut bisa saling melengkapi dalam metode penelitian kualitatif. Tidak harus dibedakan seperti saat kita menggunakannya sebagai landasan dalam membedakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.

Dasar pemikiran kedua paradigma tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam penelitian kualitatif. Paradigma positivistik dapat digunakan saat peneliti ingin mencari atau mengidentifikasi data kualitatif dengan menggunakan proposisi yang nantinya diharapkan dapat mengidentifikasi hal yang sama pada kasus yang lain. Sedangkan interpretivistik digunakan untuk mengkombinasikan data kualitatif menjadi sebuah sistem kepercayaan yang merupakan manifestasi spesifik dari kasus yang diteliti. Lin juga berpendapat bahwa jika dalam penelitian kualitatif lebih pada mencari hubungan sebab akibat maka penelitian tersebut termasuk kajian positivistik, namun jika tujuannya lebih pada mencari mekanisme atau proses dari sebuah hubungan sebab akibat maka penelitian tersebut termasuk dalam kajian interpretivistik.

Lin mencontohkan dalam penelitian yang berkaitan dengan kebijakan publik, penelitian kualitatif dapat dikatakan positivistik saat penelitian tersebut berusaha mengidentifikasi karakteristik yang berkaitan dengan masalah kebijakan publik, atau untuk menemukan pola strategi yang bisa mencakup berbagai wilayah dan pelaku. Sedangkan penelitian kualitatif dapat dikatakan interpretivistik saat penelitian tersebut berusaha memahami suatu konsep dan bagaimana operasionalnya, atau untuk memahami bagaimana penjelasan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap apa yang mereka lakukan atau apa yang mereka percaya.

Kekuatan generalisasi dari positivistik akan menumbuhkan kepekaan peneliti untuk memahami variabel mana yang penting dan sejauh mana cakupan dari permasalahan yang diteliti. Sedangkan interpretivistik dapat meningkatkan kualitas dari “penjelasan” yang merupakan aspek penting untuk menyimpulkan bahwa suatu sistem hubungan adalah signifikan secara teoritis dan bersifat substantif. Selain itu kedua pendekatan tersebut juga dapat saling melengkapi. Pemahaman positivistik akan menjaga interpretivistik agar dapat memperlakukan kasus sebagai bagian kecil yang representatif dari suatu masalah yang lebih luas. Sedangkan pemahaman interpretivistik membuat positivistik berpikir bahwa suatu mekanisme atau proses hubungan yang masuk akal akan dapat mempertahankan asumsi.

Dalam hal validitas penelitian kualitatif, pendekatan positivistik lebih menggunakan kesimpulan statistik saat melakukan kerja kualitatif. Dari kesimpulan statistik tersebut dapat tercipta standard yang dapat menghindarkan penelitian dari bias yang mungkin bisa disebabkan oleh pengalaman peneliti. Standard tersebut juga bisa menyingkirkan variasi random dalam sebuah penelitian. Pada pendekatan interpretivistik lebih sarat akan deskripsi pada tiap ranah penelitiannya. Pendekatan ini dapat meningkatkan keakuratan dan kelengkapan dari detail data penelitian dan dapat mendeskripsikannya secara spesifik. Jadi dalam hal validitas penelitian kualitatif, pendekatan positivistik lebih menekankan pada konsep “tipikal”, sedangkan interpretivistik lebih menekankan pada “faithful” atau semirip mungkin dengan kenyataannya.

Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesempurnaan dalam paradigma empiris-positivistik dan post-positivistik sehingga muncul peran saling melengkapi. Keduanya memang berbeda namun tidak perlu dikotomi yang berlebihan karena kedua paradigma tersebut memiliki fungsinya masing-masing sehingga dalam implementasinya kedua paradigma tersebut bisa saling membantu sebagai panduan untuk menelaah permasalahan psikologi secara mendalam. Hal itu diperlukan karena memang tidak semua permasalahan psikologi dapat ditelaah hanya dengan paradigma positivistik begitupula sebaliknya.


DAFTAR PUSTAKA
Lin, A. C. (1998). Bridging positivist and interpretivist approaches to qualitative methods. Policy Studies Journal, 26 (1), 162-180.

Tidak ada komentar: