Selasa, 27 April 2010

Bias Gender


     Berikut adalah deskripsi contoh kasus yang menggambarkan bias dalam hal sexism, heterosexism, dan androsentric:

a. Sexism

     Young (1992) mengemukakan sexism adalah perlawanan terhadap pria ataupun wanita yang tergambar pada paktek, sikap, pemikiran, perilaku, dan aturan-aturan institusional. Jika melihat sexism dari kacamata psikologi sosial, kita dapat memandangnya dalam tiga interrelasi yang secara konseptual terbagi ke dalam prasangka, stereotype, dan diskriminasi (Lott, 1995). 
 Prasangka seksis adalah pandangan negatif yang rupanya dipandang sebagai sikap positif yang dilakukan terhadap wanita dan gadis yang menekan mereka.
 Stereotipe seksis adalah pandangan yang menggambarkan negativitas atau positivitas sifat yang membentuk karakter harapan untuk wanita yang biasanya dianggap lebih lemah dan tidak disukai perannya.
 Diskriminasi Seksis
• Interpersonal Sexist Discrimination
Lott (1995) mendefinisikannya sebagai penolakan, pengecualian, atau pemisahan secara fisik.
• Physical Discrimination
Pada diskriminasi jenis ini, tubuh adalah bagian yang paling sering terkena eksploitasi.
• Occupational Discrimination
Diskriminasi pada pekerjaan dapat terlihat ketika seseorang mendapatkan pemisahan peran dan nilai dalam konteks pekerjaan karena kepercayaan yang berdasar pada gender.
Di Indonesia juga terjadi bias gender sexism terutama berkaitan dengan stereotipe yang merugikan kaum perempuan. Kerap terjadi ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu yang bersumber dari penandaan yang dilekatkan pada mereka. Misalnya adalah penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek merupakan upaya memancing lawan jenisnya, maka ketika ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan, ternyata ada masyarakat yang justru cenderung menyalahkan korbannya, dalam hal ini perempuan.
Ditengarai media juga turut memperkuat “kelanggengan” stereotipe ini. Hasil penelitian Robinson dan Bessell (2002) mengungkapkan bahwa dalam melaporkan kasus pemerkosaan, perempuan korban pemerkosaan diperkosa lagi untuk kedua kalinya oleh media (second rape by the media). Hal ini juga terjadi di Indonesia. Media di Indonesia sering menggambarkan korban pemerkosaan sebagai genit, penggoda, lemah dan dungu, dan sepantasnya mendapat perlakuan itu. Namun si pemerkosa, karena dia adalah laki-laki, cenderung diberi toleransi dengan mengatakan bahwa mereka melakukan perundungan seksual tersebut karena mereka sedang khilaf, kesetanan, atau tak mampu menahan nafsu birahinya.
Cara media menggambarkan korban pemerkosaan menunjukkan bagaimana bahasa dan tulisan telah menjadi alat untuk melecehkan perempuan melalui media. Perempuan korban pemerkosaan seringkali mengalami pelecehan oleh petugas kepolisian yang secara tidak langsung mengatakan bahwa mereka mengundang tindak pemerkosaan melalui tingkah laku mereka, penampilan fisik atau cara berpakaian. Laporan media juga memberikan asumsi serupa, sebagai contoh Harian X menulis “Empat laki-laki memerkosa seorang perempuan cantik di kebun” dan Tabloid Y menuliskan “Parfum perempuan itu membangkitkan nafsu birahi si pemerkosa” (dikutip dari Akhmad Kusaeni dalam Kompas.com, 2010). Jadi, “kecantikan” dan “parfum perempuan” yang dipersalahkan oleh media yang bersangkutan dan bukannya kebrutalan dan moralitas rendah lelaki, si pemerkosa.

John Stephen (dalam Language and Ideology, 1992) mengatakan bahasa adalah tempat khusus bagi efek ideologis, dengan kapasitas yang berpotensi sangat kuat untuk membentuk sikap audiens. Betapa kuatnya bahasa untuk membentuk pemahaman masyarakat. Jika bahasa adalah kekuatan, media seharusnya menggunakannya sebagai obat bagi para korban dan bukan racun untuk melakukan “pemerkosaan kedua”. Jika bahasa adalah kekuatan, media harus menggunakan kekuatan itu untuk mencari jalan keluar. Media perlu meningkatkan cara pelaporan jurnalis dalam kasus pemerkosaan, termasuk menemukan jalan untuk menghadapi stigma yang ditempelkan pada korban pelecehan seksual khususnya perempuan.


b. Heterosexism

     Heteroseksisme menjelaskan sebuah sistem ideologi yang dinamakan heteroseksual sebagai norma dan mempengaruhi perilaku yang tergambar dalam kehidupan sehari-hari dalam praktek hidup dan sikap sebuah institusi atau individu. Rubin (1993) mengatakan bahwa heteroseksualitas bukan hanya dibedakan tetapi juga dianggap lebih tinggi derajatnya atas praktek non-hetero. Tidak cukup dengan privelese itu, bentuk seksualitas yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan, melalui strategi patologisasi, abnormalisasi dan kriminalisasi. Seks yang buruk meliputi homoseksual, diluar perkawinan, tidak prokreatif, atau komersial.
Hal hampir sama diungkapkan oleh Faucault (1986). Heteroseksualitaslah dalam kerangka ini yang dibabtis sebagai bentuk paling sah. Kesenangan seksualitas (non-prokreatif) hanya dibingkai dalam sangkar emas heteronormativitas. Menurutnya semua bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip “seksualitas prokreatif yang normal” dimasukkan kategori patologis. Onani, masturbasi, dan homoseksualitas yang sering menjadi sumber kesenangan erotis dianggap abnormal, menyimpang, dan perlu mendapat perawatan. Alasannya adalah karena praktek-praktek seksual nonprokreatif ini memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan terhadap berbagai macam penyakit. Inilah bedanya seksualitas Barat modern dan Yunani kuno, dimana homoseksualisme, onanisme, dan masturbasi tidak ditolak berdasar kategori “normal” atau “abnormal” melainkan berdasar kuantitasnya, yaitu tidak boleh kalau berlebihan (Foucault, 1986a: 45).
Suatu contoh perilaku heteroseksisme muncul pada tokoh terkenal yang diceritakan oleh Rubin (1992), yaitu Dr. J. Guerin. Guerin menganggap perilaku seksualitas tidak prokreatif adalah perbuatan yang tercela dan tidak dibenarkan, sehingga ia punya resep unik untuk mengakhiri masturbasi pada anak perempuan. Setelah segala upaya gagal, maka anak perempuan yang masturbasi, menurut Guerin, layak dibakar klitorisnya dengan setrika.

Contoh lain adalah cerita tentang Herculine Barbin, seorang hermaprodit Perancis pada abad XIX. Pada catatan hariannya, Barbin menulis bahwa pada kelahirannya ia diidentifikasi sebagai perempuan. Kendati demikian, setelah serangkaian pengakuan pada dokter dan pendeta, Barbin secara hukum diharuskan untuk merubah seksnya ke “laki-laki” karena karakter maskulin yang dimilikinya. Tertekan karena seksualitas dan jenis kelamin yang disyaratkan, akhirnya Barbin bunuh diri. Kasus Barbin ini menunjukkan bagaimana kedokteran, pengadilan, dan hukum secara diam-diam menjadi ritus yang penting untuk ditemukannya manuasia mono-sexed dalam sejarah Barat modern. Bahwa manusia harus punya satu identitas seks dan gender yang jelas. Kalau punya anatomi laki-laki maka harus maskulin. Dan bila punya anatomi perempuan maka harus feminin. Tidak boleh ada campur aduk keduanya.


c. Androsentric

     Perbedaaan gender antara laki-laki dan perempuan, ada tendensi untuk menggunakan norma-norma androsentris. Dipertegas oleh Freud mengenai psikologi feminis tentang ketidakpunyaan penis pada perempuan. Dapat dikatakan bahwa perempuan lebih tidak siap dalam melakukan pekerjaan apapun dibanding laki-laki dan laki-laki cenderung sukses dalam karir mereka. Jadi dalam androsentris berupaya untuk memunculkan kedua jenis peran gender namun lebih berfokus pada eksistensi antara perempuan dan laki-laki itu sendiri. Laki-laki bisa melakukan pekerjaan dan sukses, sedangkan perempuan juga bisa melakukan pekerjaan tersebut, tapi tidak bisa sesukses laki-laki.
Contoh yang paling hangat akhir-akhir ini ada pada dunia politik di negara kita. Saat ini bermunculan tokoh perempuan, baik yang telah berhasil menjadi kepala daerah, maupun yang baru maju menjadi calon kepala daerah. Di Indonesia, seorang pemimpin selama ini dianggap suatu hakekat yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki. Apalagi anggapan itu didukung oleh tafsir agama mayoritas di negara ini. Tapi tren tersebut ternyata mulai runtuh ketika Megawati berhasil menjabat sebagai presiden. Hal ini sempat memicu kontroversi, banyak orang yang kontra tapi tidak sedikit juga yang pro. Banyak orang yang beranggapan bahwa wanita tidak akan mampu memimpin negeri ini, malah hanya akan memperburuk kondisi yang sudah buruk saat itu.

Setelah Megawati lengser, tidak sedikit yang menilai bahwa Megawati gagal memimpin negeri ini. Banyak keputusan-keputusan yang dianggap salah dan diasosiakan dengan peran gender beliau sebagai wanita, wanita itu lemah, tidak bisa mengambil keputusan yang tepat, karena wanita cenderung emosional dan beliau mengambil kebijakan hanya berdasarkan atas emosi, bukan atas pertimbangan yang matang. Contohnya banyak aset negara yang dijual (Indosat, kapal tanker Pertamina, dll), direstuinya sistem BHMN bagi Universitas Negeri, dan diberlakukannya sistem tenaga kerja outsourcing. Adapula kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan. Banyak orang yang beranggapan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh lambannya beliau dalam mengambil tindakan, dan lagi-lagi hal tersebut diasosiasikan dengan peran gender beliau sebagai wanita. Pada intinya ada masyarakat yang beranggapan bahwa Megawati telah gagal memimpin negeri ini, dan itu diasosiasikan juga sebagai kegagalan wanita dalam memimpin suatu negara. Entah kesimpulan tersebut punya landasan kuat atau tidak, yang jelas sejak itu popularitas Megawati menurun, beliau kalah dalam pemilu 2004 oleh SBY, dan sampai saat ini belum ada presiden wanita lagi di Indonesia. Fenomena ini menggambarkan bahwa wanita bisa melakukan seperti apa yang dilakukan laki-laki (menjadi pemimpin negara), tapi eksistensi mereka tetap dianggap tidak bisa menyaingi eksistensi laki-laki, dan tetap dianggap tidak bisa sesukses laki-laki.


Alimi, M. Y. (2004). Seks Juga Bentukan Sosial: Rethinking Gender dan Seksualitas Menurut Teori Queer. Yogyakarta: LKIS.

Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup (Edisi Terjemahan). Jilid 2.  Jakarta: Erlangga.