Minggu, 20 November 2011

Apakah Informed Consent Sudah Benar-Benar Menjamin Hak Klien?

Pasal 20

INFORMED CONSENT

Setiap proses penelitian atau pemeriksaan psikologi yang melibatkan manusia harus disertai dengan informed consent. Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani pemeriksaan psikologi atau orang yang menjadi subjek penelitian untuk terlibat dalam proses penelitian psikologi yang dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:

a. Kesediaan untuk mengikuti penelitian dan atau praktik psikologi tanpa paksaan.

b. Perkiraan lamanya penelitian dan atau praktik psikologi

c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam proses penelitian, dan atau praktik tersebut

d. Keuntungan dan atau risiko yang dialami selama proses tersebut

e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut

f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.

Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas pendidikannya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan direkam.

Dalam praktek psikologi, informed consent ini sangat berperan untuk melindungi hak-hak pengguna jasa layanan maka dari itu sangat penting bagi ilmuwan psikologi maupun psikolog untuk merinci dan menginformasikannya secara gamblang dan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam. Sebetulnya pasal ini sudah cukup jelas, namun tampaknya perlu ditambahkan beberapa hal yang sebaiknya tercantum dalam informed consent, yaitu poin (g) yang berisi bagaimana prosedur yang ditempuh klien jika praktik psikologi memberikan dampak yang negatif. Hal ini perlu agar klien tidak hanya tahu siapa yang bertanggung jawab, tapi ia juga tahu langkah apa yang harus dilakukan agar haknya dapat terjamin.

Setelah itu untuk menghindari terjadinya efek ngatif jangka panjang, maka perlu juga ditambahkan poin (h) jaminan bagi hak pengguna layanan jika dampak negatif yang timbul tidak langsung saat layanan diberikan namun baru muncul justru di waktu yang akan datang. Lalu ditambahkan pula poin (i) prosedur atau langkah apa yang bisa diambil pengguna layanan jika dampak negatifnya baru muncul di saat yang akan datang.

Contoh kasus yang terjadi biasanya adalah saat dilakukan asesmen pada dunia pendidikan. Biasanya hasil asesmen akan dijadikan acuan untuk penempatan dan mempengaruhi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan siswa tersebut. Misal hasil asesmen mengatakan seorang siswa mengalami kesulitan dalam belajar atau slow learner, maka anak itu akan mendapatkan perlakuan berbeda sebagai siswa lambat belajar. Apabila di kemudian hari diketahui bahwa hasil asesmen salah dan sudah terlanjur mendapatkan perlakuan sebagai siswa lambat belajar, maka siswa tersebut sudah tahu prosedur yang harus dilakukan untuk menuntut haknya dan paham betul bahwa ia masih punya hak untuk menuntut psikolog yang melakukan asesmen agar dapat bertanggung jawab.

Sabtu, 19 November 2011

Positivisme - Auguste Comte

Salah satu tokoh terkemuka dari filsafat positivisme adalah Comte yang pemikirannya berkembang pesat pada sekitar abad ke-19. Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah “The Course of Positive Philosophy”. Atas karyanya ini Comte dipandang sebagai Bapak Positivisme. Positivisme menurut Comte adalah penerapan metode empiris dan ilmiah pada setiap lapangan penelitian. Sarana yang dapat digunakan untuk pengkajian ilmiah adalah pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme bertumpu pada paham bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan hanya fakta-fakta yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Positivisme menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta (Upe, 2010).

Positivisme Comte menolak setiap pengetahuan yang berlandaskan pemikiran bahwa ada realita lain di luar eksistensi materiil. Positivisme Comte juga berusaha menggambarkan tentang tahapan cara berpikir manusia dalam melihat alam semesta yaitu tingkatan teologi, metafisik, dan tingkatan positif.
a. Tingkatan teologi menggambarkan manusia belum dapat memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian di alam semesta merupakan akibat dari perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah. Fase ini juga terdiri dari tiga tahapan lagi yaitu animisme, politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
b. Tingkatan metafisik merupakan suatu variasi dari cara berpikir teologis dimana Tuhan diganti dengan kekuatan abstrak misalnya dengan kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai berani dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bencana.
c. Tingkatan positif menggambarkan manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Pada tahapan ini manusia manusia sudah mulai mengandalkan ilmu pengetahuan, sehingga mulai ada pemisahan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui.

Comte menempatkan filsafat positivisme pada tahapan ketiga dimana filsafat ini tidak mendukung hal yang bersifat metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta, gejala, atau fenomena, maka tidak mempunyai arti. Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Upe, A. (2010). Tradisi Aliran dalam Sosiologi: dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.