Senin, 11 Januari 2010

Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu


Dua novel ini sebetulnya berisi kisah yang sama. Keduanya bercerita tentang bagaimana sebuah keluarga yang hanya terdiri dari seorang ibu dan seorang anak yang terlahir dengan keterbatasan fisik, mampu menghadapi kerasnya kehidupan. Hanya saja “Aku terlahir 500 gram dan Buta” ditulis oleh sang anak, sedangkan “Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu” ditulis oleh sang ibu. Dan tentu saja hal unik yang dapat ditemukan adalah bagaimana sudut pandang dari dua orang ini dalam menuangkan dan menghadapi masalah satu sama lain. Sang ibu tentu saja memiliki pandangan tersendiri dalam mendidik anaknya yang terlahir dengan keterbatasan fisik, sedangkan sang anak juga memiliki pandangan tentang bagaimana ibunya mendidik dia yang tuna netra. Sang anak, Miyuki Inoue, sebetulnya paham betul bahwa sang ibu, Michiyo Inoue, sayang terhadapnya dan ingin dia tumbuh seperti anak normal lainnya namun memang dibutuhkan perjuangan yang “lebih” daripada anak normal. Michiyo mendidik anaknya yang buta secara keras. Ia ingin meskipun Miyuki buta tapi jangan sampai dunianya ikut menjadi gelap. Michiyo ingin dunia Miyuki lebih cerah dan tidak terbatas, maka dari itu ia membiasakan Miyuki untuk mencoba langsung apa yang ingin dipelajarinya dan tidak takut akan kegagalan. 


Michiyo berasal dari keluarga yang boleh dibilang ”berantakan”. Sejak kecil ia diasuh oleh nenek dan kakeknya karena sang ibu tidak ingin merawatnya dan bahkan cenderung menolak keberadaannya. Inilah yang membuat kehidupannya begitu sulit dan keras. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Banyak sekali arti kehidupan yang ia temukan dengan sendirinya tanpa bimbingan orang tua. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kerja keras. Neneknya sering memarahi bila ia tidak rajin dalam bekerja. Sering terjadi pergolakan batin dalam diri Michiyo tentang keberadaan ibunya. Tapi semua itu dapat dilalui dengan tabah olehnya meskipun dengan hati yang tersiksa.


Hingga kemudian ia bertemu dengan Tsutomu salah seorang pelanggan Nodatenya. Dengan Tsutomulah kemudian ia memiliki seorang anak yang bernama Miyuki. Tapi saat usia kandungannya memasuki bulan ke enam, Michiyo kembali mendapat cobaan yang sangat berat. Tsutomu meninggal karena kecelakaan saat tugas di luar kota. Hal itu membuatnya stress dan tentu saja berpengaruh terhadap kandungannya. Air ketubannya pecah dan kandungannya terpaksa harus dilahirkan meskipun belum waktunya. Akhirnya Miyukipun terlahir secara prematur dan mengalami kegagalan retina yang membuatnya menjadi buta. Ternyata hal ini memiliki dua efek sekaligus terhadap ibu Miyuki (Michiyo), di satu sisi kecacatan anaknya semakin membuatnya terpukul, tapi di sisi lainnya ia merasa inilah kehendak Tuhan yang ingin memberinya pelajaran tentang arti sebuah ketabahan dalam menghadapi cobaan. Ia tidak ingin menyia-nyiakan karuniaNya, oleh karena itu ia berjanji untuk merawatnya dengan penuh kasih sayang meskipun dengan cara yang keras.


Lalu Miyukipun lahir dengan berat 500 gram, yang ukurannya kira-kira hanya sebesar telapak tangan. Selama tujuh bulan, ia dibesarkan di rumah sakit, dan karena ia terlalu lama berada di inkubator, maka indera penglihatannya menjadi tidak berfungsi. Walaupun pada awalnya dokter telah memvonis hidupnya tidak akan lama, akan tetapi berkat doa dan kasih sayang tulus yang dicurahkan oleh Michiyo, maka Miyuki dapat bertahan hidup. Setelah itu Michiyo mulai mencari tahu tentang bagaimana cara mendidik anak tuna netra dengan bertanya pada seorang guru di salah satu SLB. Sejak itu mata dan hati Michiyo mulai terbuka bahwa kebutaan bukanlah sesuatu yang mutlak untuk membatasi keingintahuan seorang anak. Tidak adil bahwa hanya karena buta, seorang anak jadi tidak dapat mengenali dunianya. Maka dari itu ia disarankan untuk mengoptimalkan indera lain yang masih bisa berfungsi. Biarkan anak buta mengetahui dunianya dengan meraba, mendengarkan, dan yang terpenting adalah merasakannya. Akhirnya Michiyopun membiasakan Miyuki sejak kecil untuk meraba dan merasakan benda-benda yang ada di sekitarnya.


Di kedua novel ini banyak bercerita tentang perasaan Michiyo maupun Miyuki terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh Miyuki. Selain karena buta, fisiknya yang rentan terhadap penyakit, ukuran badan yang lebih kecil dibandingkan dengan fisik teman-temannya di usianya, dan kondisi perekonomian yang hanya ditopang oleh ibunya, Michiyo, membuat perjalanan hidupnya dari waktu ke waktu terasa berat dilalui. Miyuki yang sejak lahir tidak memiliki ayah, membuatnya kehilangan figur seorang ayah, di satu sisi Michiyo juga harus berperan ganda sebagai seorang ibu sekaligus sebagi seorang ayah bagi Miyuki. Segala keterbatasan yang dimiliki Miyuki membuat Michiyo harus jauh lebih sabar juga keras dalam merawat dan mendidiknya. Kekurangan yang dilihat orang lain pada diri Miyuki, menjadi tamparan dan hinaan bagi Michiyo. Bagaimanapun, ia berusaha tidak melihat kekurangan dalam diri Miyuki, dan selalu menanamkan kepercayaan diri pada Miyuki agar tidak merasa lemah dan serba kekurangan. Sehingga Miyuki tumbuh hampir layaknya anak seusianya, semangat, ceria, dan percaya diri. Seorang anak yang gigih dan teguh pendiriannya.


Yang perlu dicermati adalah pada awalnya Miyuki tidak sadar bahwa ia buta, karena ia sendiri belum mengerti konsep melihat. Tapi masalah itu muncul setelah ia mulai masuk sekolah, tepatnya saat TK, ia mulai sadar bahwa ia berbeda dengan temannya. Temannya yang menyadarkan bahwa ia tidak bisa melihat. Lalu ia bertanya kepada Michiyo tentang arti melihat. Sadar akan kekurangannya, ini menjadi hal yang menyakitkan bagi Miyuki. Sebetulnya temannya sangat menghargai keberadaannya. Bahkan ia selalu diingatkan bila ia akan melakukan suatu hal yang sekiranya membahayakan. Seperti bermain ayunan dan menggunting sesuatu. Tapi justru karena itulah Miyuki jadi merasa lebih bertanya-tanya tentang kebutaannya. Ia mulai mengeksplorasi lebih banyak lagi tentang dunianya. Oleh karena itulah Miyuki kecil tumbuh menjadi seorang anak yang kuat dan ceria. Berdua dengan Michiyo yang sangat mencintainya, mereka melalui masa-masa yang indah.


Lalu saat memasuki SD kehidupan Miyuki dan Michiyo mulai berubah. Perekonomian mereka semakin sulit dan kebutuhan Miyuki juga semakin banyak. Stress yang dihadapi Michiyo juga semakin menumpuk. Hal ini mempengaruhi sikapnya kepada Miyuki. Miyuki merasa, ibunya berubah menjadi kejam, hingga saat SMP Miyuki bahkan menyebutnya ibu setan. Miyuki merasa ibunya kejam semenjak peristiwa Miyuki belajar naik sepeda. Saat jatuh, Michiyo hanya membiarkan dan melihat dari kejauhan, padahal kaki Miyuki berdarah. Namun menurut pandangan Michiyo, itulah satu-satunya cara agar Miyuki dapat mengerti tentang apa yang disebut dengan kerja keras dan betapa nikmatnya hasil dari semua kerja kerasnya kelak. Sebetulnya Miyuki juga bisa menyadari hal itu, ia menuliskan bahwa ia sampai ”lupa akan kemarahannya” saat mereka berdua begitu gembira ketika Miyuki berhasil mengendarai sepedanya. Tapi sejak saat itu pula, Miyuki memimpikan punya orang tua yang baik hati, yang jauh lebih mengasihinya dibanding ibunya itu. Pertengkaran mereka berdua semakin sengit ketika Miyuki memasuki masa-masa remaja. Bahkan, ibunya pernah sampai meninggalkan rumah, karena tidak kuat bertengkar terus dengan anaknya.


Masalah kembali menghampiri mereka berdua ketika Miyuki memasuki masa SMP. Miyuki menderita penyakit perut misterius, yang walau berkali-kali diperiksa dokter, tetap tidak menunjukkan adanya penyakit pada lambungnya. Dokter Inada hanya menganggap penyakit pubertas yang sudah biasa dialami oleh remaja seusianya. Namun gara-gara penyakit misterius ini, Miyuki sempat putus asa dan serius ingin bunuh diri. Sebetulnya Mchiyo juga merasa sedih akan hal ini. Bahkan ia merasa sudah salah mendidik anaknya dengan keras. Hingga tiba suatu saat Miyuki ingin mengutarakan niatnya bunuh diri, tapi Michiyo tiba-tiba mencekiknya dengan sangat kuat. Pertengkaran hebat terjadi antara mereka berdua. Tapi karena peristiwa ini, akhirnya Michiyo menceritakan masa kecilnya yang kelam, yang membuatnya menjadi sangat keras dalam mendidik Miyuki. Hal ini membuat hati Miyuki tersentuh dan justru kagum kepada Michiyo. Beberapa saat setelah peristiwa itu, penyakit lambung misterius Miyuki secara misterius pula tiba-tiba sembuh. 


Setelah itu karena merasa sudah sehat, Miyukipun melanjutkan lomba pidatonya yang sebelumnya telah ia menangkan di tingkat sekolah. Lomba itu selanjutnya diselenggarakan di tingkat Kyushu. Miyuki yang telah bangkit dari keterpurukan, menulis naskah pidato tentang kisah hidupnya, tentang kasih sayang sekaligus amarah ibunya padanya. Setelah memenangkan kejuaraan pidato tingkat Kyushu, Miyuki mengikuti perlombaan pidato tingkat nasional di Tokyo, yang akhirnya juga ia menangkan. Kemenangan inilah yang membuat Michiyo dan Miyuki sadar bahwa betapa telah jauhnya mereka melangkah. Michiyo tak menyangka bahwa ia, yang tidak pernah mengalami kelembutan kasih sayang dari seorang ibu, telah membawa Miyuki berkembang sejauh itu, iapun merasa bangga terhadap anaknya tersebut. Bahkan hal itu juga menyadarkan Miyuki tentang pentingnya peranan Michiyo, ibunya, dalam membesarkan dan mendidik dirinya menjadi anak yang berhasil melalui keterbatasan dan menunjukkan pada dunia tentang apa yang disebut kekuatan dan semangat juang seorang anak yang terlahir dengan segala keterbatasannya.




Kalau Boleh Bilang...

Hal pertama yang dapat saya katakan adalah saya sangat kagum pada semangat yang dimiliki oleh kedua orang ini. Cara Michiyo dalam mengenalkan dunia kepada Miyuki benar-benar suatu cara yang cerdas. Tanpa mengurangi maknanya, ia bisa menyampaikan segala pengetahuan dengan baik (meskipun ada beberapa yang sulit bahkan tidak bisa, seperti aljabar, konsep indahnya pemandangan, dan konsep warna) sehingga Miyuki dapat memahaminya dengan baik pula. Michiyo telah berhasil mengoptimalkan fungsi indera Miyuki yang lain.

Selain kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman dan kasih sayang juga telah berusaha dipenuhi oleh Michiyo. Meskipun kerap timbul masalah saat ia harus meninggalkan Miyuki sendirian di malam hari dan membuatnya merasa kesepian karena harus bekerja paruh waktu, tapi semua itu dapat dilalui dengan baik. Michiyo telah berhasil memberi pengertian pada Miyuki. Bahkan Miyuki yang butapun bisa merawat dirinya sendiri, seperti ganti pakaian dan bahkan memasak (meskipun sederhana seperti salad). Kebutuhan untuk dihargai dan diakui oleh orang lain semuanya juga telah dimiliki oleh Miyuki. Tapi meskipun begitu, bukan berarti cara mendidik Michiyo telah sepenuhnya baik. Menurut saya sikapnya dalam mendidik Miyuki terlampau keras dan terkadang terlalu mengekang kebebasan Miyuki. Itulah mengapa Miyuki sering berontak dan menjadi anak yang pembangkang. Karena apapun yang dilakukannya adalah kehendak ibunya bukan kehendak dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya Miyuki dapat menerima dan memaklumi sikap ibunya tersebut. Bahkan Miyuki juga tahu apa sebenarnya maksud dibalik cara mendidik Michiyo yang keras tersebut. Ia sadar bahwa itu semua juga demi kebaikannya kelak.


Hal lain yang menarik adalah tentang penyakit lambung misterius yang diderita Miyuki. Sebetulnya hal tersebut juga menjadi pertanyaan bagi saya. Penyakit apakah itu sebetulnya? Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Tapi saya mencoba menjawab, menurut saya penyakit itu timbul karena stress yang menumpuk dalam pikiran sehingga menimbulkan anxiety yang sangat besar pada diri Miyuki. Kecemasan yang sangat besar inilah yang membuat ketahanan tubuh Miyuki melemah. Saat itu Miyuki juga memasuki masa pubertas, masa dimana banyak faktor biologis sedang berkembang, sama dengan remaja normal lainnya. Pada mulanya ia tidak tahan dengan perlakuan Michiyo, ia mendambakan ibu yang lembut dan penuh kasih sayang (yang menurut penggambaran Michiyo sosok itu ada pada dokter Inada). Hal inilah yang membuat saya juga berpikir bahwa tidak menutup kemungkinan penyakit yang dideritanya tersebut berasal dari pikirannya sendiri. Penyakit lambung yang sangat diyakininya, sehingga seolah-olah ia merasakan sakit yang sesungguhnya, walaupun dokter manapun tidak dapat mendeteksi penyakit apa itu sebenarnya.  


Lalu penyakit tersebut hilang dengan sendirinya ketika tiba-tiba ada kabar bahwa temannya sewaktu kecil, yang juga anak dari teman Michiyo, meninggal dunia karena penyakit lambung yang disebabkan karena diet yang berlebihan. Ditambah lagi dengan membaiknya kondisi psikologis Miyuki setelah mendengar kisah memilukan yang dialami Michiyo ketika masih seusia Miyuki. Saat miyuki pulih dari penyakit yang timbul dari pikirannya sendiri, ia bangkit dan mencoba memperoleh prestasi dari lomba pidato. Dengan menulis kisah hidupnya sendiri, Miyuki berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kelemahan itu ada hanya jika kamu melihatnya sebagai kelemahan. Dan prestasi ini membuat Michiyo sangat bangga kepada Miyuki.


Michiyo juga berhasil membawa Miyuki melalui tahap-tahap perkembangannya dengan cukup baik, karena meskipun Miyuki memiliki keterbatasan fisik, tugas-tugas perkembangannya dapat terlaksana tepat pada masanya. Baik kemampuan sensori-motorik (lihat bagaimana cara Michiyo memberi stimulasi pada Miyuki saat ia masih bayi), kognitif, bahasa, sosialisasi, dan berpikir moral, semuanya dapat berlangsung normal. Ini karena kerja keras Michiyo dalam mendidik Miyuki. Ia tidak pernah lelah memenuhi keingintahuan Miyuki yang sangat besar. Dengan sabar ia membimbing Miyuki memasuki masanya, bahkan dengan hati yang lapang pula Michiyo mau menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialaminya. Walaupun kerap terjadi pertengkaran antara mereka berdua saat Miyuki beranjak remaja, namun keduanya pada dasarnya saling membutuhkan dan saling menyayangi. Karena bagi Miyuki, hanya seorang ibunyalah yang ia miliki, begitu juga sebaliknya bagi Michiyo, hanya Miyukilah yang ia miliki. 
Sungguh benar-benar luar biasa apa yang ditunjukkan oleh ibu dan anak ini pada kita semua baik yang dianugerahi olehNya “kenormalan” maupun yang dianugerahi “ketidaknormalan”, bahwa justru keterbatasanlah yang membawa mereka pada kerekatan antara seorang ibu dan putrinya. Mereka menunjukkan bahwa pengetahuan dan dunia ini sebenarnya terbuka secara lebar untuk membiarkan kita masuk dan memahami segala maknanya tanpa ada batasan sedikitpun, termasuk keterbatasan indera.

Minggu, 10 Januari 2010

Little Man Tate


Film ini berkisah tentang kehidupan Fred Tate, seorang anak Gifted atau anak berbakat yang lahir dari hasil rekayasa genetika dan hidup dengan seorang Ibu (Dede). Sejak kecil, Fred sudah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa. Namun hanya Ibunyalah yang menyadarinya. Fred kecil yang masih bayi, sudah bisa membaca padahal Ibunya tidak pernah mengajarinya. Dan ketika memasuki usia tujuh tahun, ketika Tate sudah masuk sekolah dasar, Tate semakin menunjukkan bakatnya yang sangat luar biasa. Tate mahir bermain piano, bahkan memainkan not lagu dari belakang, selain itu Tate sangat cepat dalam menguasai angka, sehingga kemampuan matematika dan fisikanya tanpa batas. 


Namun, walaupun begitu Tate tidak mendapatkan dukungan dari sekolah dan lingkungan sosialnya. Gurunya tidak menyadari bakatnya dan hanya menganggapnya aneh, karena Tate tidak pernah memperhatikan pelajaran, dan hanya melamun di kelas. Begitu pula dengan teman-temannya di sekolah. Karena Tate sering melamun dan penyendiri, teman-temannya menjauhinya. Apalagi, Tate termasuk anak yang memiliki fisik yang lemah, sehingga tate tidak pernah diajak bergabung dalam permainan-permainan olahraga.

Tate menjadi semakin kesepian, dan menenggelamkan diri pada isu global yang ia baca dari buku-buku dan berita TV. Hanya Dede yang memperhatikan dan memberikan kebutuhan kasih sayang padanya. Namun pada saat Jane – seorang psikolog – menemukan Tate dan mengajaknya untuk mengikuti Olimpiade, Tate menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya anak yang ”berbeda” dan merasa kesepian. Bersama Jane, Tate mendapatkan dukungan dan stimulus untuk semakin mengembangkan kemampuan berpikirnya. Tate merasa disanjung dan didukung. Namun, Tate masih tidak bisa mendapatkan teman bermain. Tate masih merasa kesepian dan sendiri.


Sampai suatu saat, Tate menyadari bahwa orang yang benar-benar ia butuhkan adalah Dede, ibunya. Hanya ialah yang menerima Tate apa adanya, dan tidak menuntut apa-apa, serta sanggup memberikan kasih sayang secara tulus. Inilah titik balik dalam kehidupan Tate. Ia menyadari bahwa di dunia ini masih ada tempat baginya jika ia mau beradaptasi dengan lingkungannya dan menerima keadaan bahwa dirinya dilahirkan sebagai anak yang berbakat. Sejak itu, Tate memiliki teman-teman bermain dan dua orang dewasa yang mendukungnya secara mental dan emosional, yakni Jane dan Dede.

Karakteristik pribadi gifted yang muncul dalam film:
  1. Sangat cepat dalam belajar, hingga melebihi kemampuan anak sebayanya. Misal; Tate sudah mampu membaca saat usianya masih balita, dalam usianya yang masih 7 tahun Tate sudah mampu bermain piano selayaknya orang dewasa dan mampu memahami fisika dan matematika bahkan tanpa batas. Bahkan saat dia ikut Jane kuliah, diapun bisa menyerap materi dengan baik. Mahasiswa lain malah meniru pekerjaannya.
  2. Haus akan pengetahuan dan tertantang dengan materi yang lebih sulit. Tate adalah kutu buku dan pembaca yang kritis. Begitu ia diajak Jane untuk mengikuti perkuliahan, ia langsung bisa menyerapnya dengan baik.
  3. Sering melamun (saat di kelas sekolah regular), terlihat bosan dan mengabaikan pelajaran yang itu-itu saja. Ini adalah karakter yang ditunjukkan anak berbakat yang under achiever. Tapi begitu ia masuk pada kelas yang menawarkan materi yang menantang, iapun jadi lebih tertarik dan bersemangat dalam menerima materi.
  4. Ikut memperhatikan dan merisaukan tentang permasalahan global yang dibacanya melalui buku dan berita TV. Bahkan Tate sering tidak bisa tidur karena memikirkan lingkungan sekitarnya.
  5. Kemampuan verbalnya luar biasa. Tate mengetahui banyak kosa kata yang seharusnya digunakan oleh orang dewasa dan membuat syair puisi yang sangat mengagumkan yang tidak mungkin dibuat oleh anak normal sebayanya.
  6. Suka bereksperimen terhadap sesuatu. Contohnya ketika ia sering bermain piano dengan memulai nada dari belakang, membongkar telepon dan membuat benda baru dari pensil. Tate berpikir tidak lazim, karena pensil tersebut seharusnya digunakan untuk menggambar, tapi malah dibuat benda baru menyerupai susunan molekul olehnya. Sedangkan lagu yang baginya terlalu mudah, dimainkan dari belakang sehingga teman-temannya menganggapnya aneh. 

Kebutuhan sosioemosional pada pribadi gifted yang muncul pada film:
Pribadi gifted juga membutuhkan sosok dan kasih sayang ayah dan ibu. Mereka butuh perlindungan, rasa aman dan waktu yang dihabiskan bersama dengan orang tua mereka. Tate adalah sosok pribadi gifted yang mendapatkan kasih sayang dari ibunya, sedangkan Jane memiliki masa lalu yang miskin akan sentuhan kasih sayang orang tua. Tate merasa bersalah saat ia meninggalkan ibunya untuk mengikuti Jane pergi ke perkuliahan. Iapun menyesal dan sengaja berperilaku buruk pada Jane agar ia dapat pulang dan bertemu kembali dengan ibunya.

Pribadi gifted, membutuhkan teman bermain dan sahabat. Kelebihan yang mereka miliki seringkali membuat mereka merasa sendiri karena tidak ada teman yang mengerti pola pikir dan apa yang mereka pahami. Mereka akan cenderung merasa kesepian dan ingin agar memiliki teman sebagaimana anak normal yang lainnya. Tate sangat ingin mempunyai dan berhubungan dengan banyak teman, tapi teman-temannya di sekolah biasa menganggapnya sebagai anak yang aneh. Tate juga juga tidak ingin terlihat pintar agar dapat diterima secara sosial oleh teman-temannya.


 Jadi menurut saya, bila dikaitkan dengan teori Triadich Models (Renzulli-Monks, 1995), keberbakatan Tate ini merupakan gabungan motivasi, kreatifitas, dan kemampuan luar biasa. Motivasi Tate terlihat saat dia tertarik oleh materi yang menantang, tertarik oleh kalender yang berisi lukisan, dan yang paling terlihat adalah saat ia ingin sekali bertemu dengan ahli matematika di sekolah Jane. Kreatifitasnya terlihat saat dia membuat susunan molekul dari pensil yang seharusnya digunakan untuk menggambar. Kemampuan luar biasanya tampak saat ia bisa membuat puisi yang kosa katanya tidak mungkin diciptakan oleh anak seumurannya, lalu ia bisa memainkan nada dari belakang, dan yang paling tampak adalah saat dia berhasil menjawab soal matematika yang sangat kompleks dalam waktu yang sangat singkat dan tanpa perlu menghitung lama, cukup membayangkan angka-angkanya. Ketiga unsur tadi didukung oleh faktor keluarga dimana ibunya berusaha mendidik dengan cara memenuhi kebutuhan keberbakatan dari Tate, yaitu saat ia tidak bisa tidur, ibunya mengajak permainan menebak bayangan, lalu berusaha menjawab dengan benar setiap pertanyaan yang diajukan oleh Tate. Tidak lupa sang ibu juga memenuhi kebutuhan afeksinya. Sedangkan di lingkungan sekolah yang baru, Jane juga memenuhi kebutuhan intelektual Tate. Lalu faktor lingkungannya yang mendukung adalah teman-temanya di sekolah yang baru. Oleh karena itu kebutuhan Tate akan afeksi dan intelektual terpenuhi karena dukungan dari ketiga faktor tadi, dan Tatepun tumbuh menjadi anak berbakat yang bahagia.

Kamis, 07 Januari 2010

Akeelah and The Bee


“Akeelah and The Bee” adalah sebuah film yang menggambarkan keberbakatan seorang anak yang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Film ini juga menunjukkan bagaimana lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberbakatan seorang anak. Peran lingkungan dibutuhkan untuk mengoptimalkan sebuah keberbakatan.


Akeelah, 11 tahun, adalah seorang anak yang tergolong berbakat dalam aspek verbal, terutama dalam hal mengingat suatu kata. Akeelah adalah seorang anak perempuan yatim dari keluarga kulit hitam yang tinggal di lingkungan ras kulit hitam pula di kota Los Angeles. Ia adalah anak ke empat dari empat bersaudara. Dia tinggal dengan seorang kakak perempuan dan dua orang kakak laki-laki. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil dan sampai saat itu ia tampaknya masih merindukan sosok ayahnya.


Akeelah memiliki masalah saat bersekolah di Sekolah Menengah Greenshaw yang mayoritas siswanya berasal dari ras kulit hitam. Ia merasa tidak nyaman saat teman-temannya mengejek karena ia pandai dalam mengeja kata dan selalu dapat nilai bagus. Ia tidak ingin nampak pintar di depan teman-temannya. Ia sering dipaksa oleh temannya untuk mengerjakan tugas temannya. Akeelah juga sering membolos sekolah untuk menghindari pelajaran tertentu. Walaupun begitu, nilainya dalam pelajaran Bahasa Inggris sangatlah tinggi. Ia pandai dalam mengeja kata dan hampir selalu benar. Itulah yang membuat gurunya mendorong Akeelah untuk ikut dalam Spelling-Bee Contest, kontes mengeja bahasa Inggris yang sangat bergengsi di AS. Kebanyakan peserta yang ikut dalam ajang ini berasal dari ras kulit putih. Sekolah Greenshaw bukanlah sekolah yang cukup diandalkan dan baru pertama kali ini mengikuti kontes tersebut. Tapi Akeelah sendiri sebetulnya sudah sering menonton video-video Spelling-Bee tahun sebelumnya di rumah.


Melihat jumlah pesaingnya sangat banyak dan rata-rata berasal dari ras kulit putih yang bisa diartikan berasal dari keluarga mampu pula, ia merasa kalah sebelum bertanding. Akeelah tidak mau mengikuti kontes tersebut walaupun gurunya telah meyakinkan bahwa ia memiliki potensi untuk bersaing di ajang tersebut dan kesempatan untuk mengharumkan nama sekolah Greenshaw yang terpuruk. Akan tetapi berkat dorongan dari salah satu kakak laki-lakinya, ia pun akhirnya mau mengikuti kontes tersebut demi membuat ayahnya bangga.
Beruntung bagi Akeelah karena ia memperoleh kesempatan untuk belajar dengan salah seorang ahli bahasa yaitu Dr. Joshua Larabee, seorang mantan kepala Departemen Bahasa Inggris di UCLA. Dr. Larabee memang pintar dalam memoles bakat. Akeelah yang berpendirian keras mau tidak mau harus patuh dalam mengikuti metode belajar yang diterapkan Dr. Larabee. Walaupun, usaha Akeelah untuk mengikuti lomba sangatlah tidak mudah, dikarenakan pada awalnya Akeelah tidak mendapat dukungan dari ibu dan salah seorang kakaknya. Tapi pada akhirnya ibu, kakak-kakaknya, teman-teman sekolahnya, dan bahkan orang-orang yang tinggal di lingkungannya mendukung Akeelah untuk menjadi juara.


Persaingannya pun sangat ketat, apalagi Akeelah adalah peserta termuda dari seluruh peserta kontes tersebut. Berkat dorongan dari semua orang itulah, maka Akeelah menjadi percaya diri dan tidak ragu lagi terhadap kemampunnya sendiri.


Saat pertandingan ia mendapat perlawanan ketat dari Dylan, finalis musim lalu. Tapi karena memang kedua anak tersebut berbakat, maka mereka berdua bisa bersama-sama mencapai pertanyaan akhir, dan merekapun menjadi juara bersama. Itu berarti Akeelah pun mendapat gelar juara pertama dalam kontes tersebut.

Faktor-faktor yang Mendukung Keberbakatan Akeelah (Triadich Model, Renzulli-Monks, 1995):


Renzulli dan Monks mempunyai sebuah konsep dalam menjelaskan keberbakatan. Konsep ini meyempurnakan konsep awal yang diajukan oleh Renzulli sendiri.
Menurut mereka seseorang dapat dikatakan berbakat jika memiliki tiga hal, yaitu motivasi yang tinggi, kemampuan luar biasa, dan kreativitas. Masing-masing aspek ini harus dimiliki oleh seorang anak yang dikatakan berbakat. Akan tetapi, untuk meningkatkan aspek tersebut bakat seorang anak juga sangat ditentukan oleh lingkungan sekitarnya, yakni lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.


Lingkungan pertama adalah lingkungan keluarga. Sebetulnya pada awalnya dalam keluarga Akeelah yang mendukung keberbakatannya adalah sang ayah. Ayahnya memberikan fasilitas bagi Akeelah untuk berlatih kata. Tapi sayang kemudian ayahnya meninggal. Dalam mengikuti kontes mengeja kata, pada awalnya tidak semua anggota keluarga mendukung usahanya. Bahkan Ibu dan seorang kakak laki-lakinya tidak setuju bahkan kakaknya meremehkan kemampuan adiknya untuk dapat bersaing dengan peserta lain yang umumnya berasal dari ras kulit putih.
Namun karena kegigihan Akeelah dan dorongan dari gurunya, maka ibunya kemudian mulai mendukung usaha Akeelah. Bahkan ketika gurunya berhenti mengajarnya, ibu dan semua kakaknya turut membantu akeelah dalam belajar. Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa keberbakatan Akeelah mendapat dukungan dari lingkungan keluarganya.


Lingkungan yang ke dua adalah lingkungan sekolah. Pada mulanya akeelah bermasalah dengan lingkungan sekolahnya. Lingkungan sekolahnya tidak mendukung faktor keberbakatannya. Sekolah Akeelah bukan merupakan sekolah favorit, mayoritas siswanya dari ras kulit hitam yang berpandangan rendah terhadap pentingnya berprestasi. Selain itu, lingkungan sekolahnya kurang baik, karena fasilitas belajarnya tidak begitu lengkap
Akeelah ingin diterima oleh teman-temannya. Tapi Akeelah sering diganggu oleh beberapa temannya, karena mereka iri dan menganggap Akeelah adalah anak yang aneh. Mereka juga memaksa Akeelah dengan kasar agar Akeelah mau mengerjakan tugas mereka. Mereka juga sering mengejak Akeelah walaupun Akeelah tidak pernah mengganggu mereka.
Tapi beruntung kemudian Akeelah punya seorang sahabat, kepala sekolah dan guru privat yang setia mendukungnya. Terutama guru privatnya, Dr. Joshua Larabee. Peran Dr. Joshua Larabee bukan hanya sebagai seorang pengajar privat, melainkan motivator yang hebat bagi kemajuan perkembangan belajar Akeelah. Berkat motivasinya dan dukungannya yang luar biasa, Akeelah yang tadinya meragukan kemampuannya sendiri, perlahan-lahan mulai menyadari bahwa jika ia sebenarnya bisa bersaing di kontes tersebut. 


Lingkungan yang ke tiga adalah lingkungan masyarakat. Akeelah tinggal di sebuah lingkungan kaum minoritas di AS, yaitu kaum kulit hitam. Kebanyakan dari orang-orang yang tinggal di lingkungan ini adalah orang-orang yang tidak begitu peduli dengan pendidikan yang layak dan prestasi yang tinggi. Bahkan mereka sendiri memandang rendah ras mereka jika dikaitkan dengan kompetensi di bidang pendidikan
Ketika orang-orang di sekitar Akeelah melihat potensi Akeelah dan kemampuannya yang luar biasa dalam kontes itu, mereka menjadi sangat bangga karena dari lingkungan mereka yang tidak layak, ternyata mereka mempunyai Akeelah yang sangat berbakat yang mengharumkan nama daerah setempat
Bukan hanya guru dan keluarganya yang membantunya mempelajari seluruh kosa kata, akan tetapi masyarakat di sekitar tempat tinggal Akeelah juga sangat membantu Akeelah dalam belajar. Di saat Dr. Larabee memutuskan untuk berhenti meengajar Akeelah, maka orang-orang di sekitarnya lah yang menjadi guru bagi Akeelah. Dukungan sosial itu ternyata signifikan dan Akeelahpun dapat mengoptimalkan keberbakatannya.

Karakteristik pribadi gifted yang muncul dalam film:
 Akeelah menunjukkan keberbakatannya dalam bidang yang spesifik yaitu dalam hal berbahasa. Yang paling menonjol adalah kemampuannya dalam mengingat kata dan mengeja. Hal itu terlihat ketika kemampuannya dalam mengingat dan mengeja kata jauh melebihi kemampuan anak seusianya.
Keberbakatan tersebut dipertegas saat ia masuk dalam lomba mengeja tingkat nasional. Di sana ia menjadi peserta termuda yaitu 11 tahun sedangkan rata-rata usia peserta lain adalah 14 tahun. Bahkan ia menjadi juara bersama dan dapat mengimbangi Dylan yang usianya 14 tahun.
Lalu karakteristik berikutnya adalah Akeelah memiliki perasaan yang peka terhadap lingkungannya. Ia sangat ingin mempunyai teman yang bisa menerimanya. Maka dari itu ia sebetulnya tidak ingin terlihat pintar di mata teman-temannya. Tapi untunglah selanjutnya ia bertemu teman yang punya karakteristik sama dengannya, sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan sosio-emosionalnya.