Senin, 11 Januari 2010

Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu


Dua novel ini sebetulnya berisi kisah yang sama. Keduanya bercerita tentang bagaimana sebuah keluarga yang hanya terdiri dari seorang ibu dan seorang anak yang terlahir dengan keterbatasan fisik, mampu menghadapi kerasnya kehidupan. Hanya saja “Aku terlahir 500 gram dan Buta” ditulis oleh sang anak, sedangkan “Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu” ditulis oleh sang ibu. Dan tentu saja hal unik yang dapat ditemukan adalah bagaimana sudut pandang dari dua orang ini dalam menuangkan dan menghadapi masalah satu sama lain. Sang ibu tentu saja memiliki pandangan tersendiri dalam mendidik anaknya yang terlahir dengan keterbatasan fisik, sedangkan sang anak juga memiliki pandangan tentang bagaimana ibunya mendidik dia yang tuna netra. Sang anak, Miyuki Inoue, sebetulnya paham betul bahwa sang ibu, Michiyo Inoue, sayang terhadapnya dan ingin dia tumbuh seperti anak normal lainnya namun memang dibutuhkan perjuangan yang “lebih” daripada anak normal. Michiyo mendidik anaknya yang buta secara keras. Ia ingin meskipun Miyuki buta tapi jangan sampai dunianya ikut menjadi gelap. Michiyo ingin dunia Miyuki lebih cerah dan tidak terbatas, maka dari itu ia membiasakan Miyuki untuk mencoba langsung apa yang ingin dipelajarinya dan tidak takut akan kegagalan. 


Michiyo berasal dari keluarga yang boleh dibilang ”berantakan”. Sejak kecil ia diasuh oleh nenek dan kakeknya karena sang ibu tidak ingin merawatnya dan bahkan cenderung menolak keberadaannya. Inilah yang membuat kehidupannya begitu sulit dan keras. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Banyak sekali arti kehidupan yang ia temukan dengan sendirinya tanpa bimbingan orang tua. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kerja keras. Neneknya sering memarahi bila ia tidak rajin dalam bekerja. Sering terjadi pergolakan batin dalam diri Michiyo tentang keberadaan ibunya. Tapi semua itu dapat dilalui dengan tabah olehnya meskipun dengan hati yang tersiksa.


Hingga kemudian ia bertemu dengan Tsutomu salah seorang pelanggan Nodatenya. Dengan Tsutomulah kemudian ia memiliki seorang anak yang bernama Miyuki. Tapi saat usia kandungannya memasuki bulan ke enam, Michiyo kembali mendapat cobaan yang sangat berat. Tsutomu meninggal karena kecelakaan saat tugas di luar kota. Hal itu membuatnya stress dan tentu saja berpengaruh terhadap kandungannya. Air ketubannya pecah dan kandungannya terpaksa harus dilahirkan meskipun belum waktunya. Akhirnya Miyukipun terlahir secara prematur dan mengalami kegagalan retina yang membuatnya menjadi buta. Ternyata hal ini memiliki dua efek sekaligus terhadap ibu Miyuki (Michiyo), di satu sisi kecacatan anaknya semakin membuatnya terpukul, tapi di sisi lainnya ia merasa inilah kehendak Tuhan yang ingin memberinya pelajaran tentang arti sebuah ketabahan dalam menghadapi cobaan. Ia tidak ingin menyia-nyiakan karuniaNya, oleh karena itu ia berjanji untuk merawatnya dengan penuh kasih sayang meskipun dengan cara yang keras.


Lalu Miyukipun lahir dengan berat 500 gram, yang ukurannya kira-kira hanya sebesar telapak tangan. Selama tujuh bulan, ia dibesarkan di rumah sakit, dan karena ia terlalu lama berada di inkubator, maka indera penglihatannya menjadi tidak berfungsi. Walaupun pada awalnya dokter telah memvonis hidupnya tidak akan lama, akan tetapi berkat doa dan kasih sayang tulus yang dicurahkan oleh Michiyo, maka Miyuki dapat bertahan hidup. Setelah itu Michiyo mulai mencari tahu tentang bagaimana cara mendidik anak tuna netra dengan bertanya pada seorang guru di salah satu SLB. Sejak itu mata dan hati Michiyo mulai terbuka bahwa kebutaan bukanlah sesuatu yang mutlak untuk membatasi keingintahuan seorang anak. Tidak adil bahwa hanya karena buta, seorang anak jadi tidak dapat mengenali dunianya. Maka dari itu ia disarankan untuk mengoptimalkan indera lain yang masih bisa berfungsi. Biarkan anak buta mengetahui dunianya dengan meraba, mendengarkan, dan yang terpenting adalah merasakannya. Akhirnya Michiyopun membiasakan Miyuki sejak kecil untuk meraba dan merasakan benda-benda yang ada di sekitarnya.


Di kedua novel ini banyak bercerita tentang perasaan Michiyo maupun Miyuki terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh Miyuki. Selain karena buta, fisiknya yang rentan terhadap penyakit, ukuran badan yang lebih kecil dibandingkan dengan fisik teman-temannya di usianya, dan kondisi perekonomian yang hanya ditopang oleh ibunya, Michiyo, membuat perjalanan hidupnya dari waktu ke waktu terasa berat dilalui. Miyuki yang sejak lahir tidak memiliki ayah, membuatnya kehilangan figur seorang ayah, di satu sisi Michiyo juga harus berperan ganda sebagai seorang ibu sekaligus sebagi seorang ayah bagi Miyuki. Segala keterbatasan yang dimiliki Miyuki membuat Michiyo harus jauh lebih sabar juga keras dalam merawat dan mendidiknya. Kekurangan yang dilihat orang lain pada diri Miyuki, menjadi tamparan dan hinaan bagi Michiyo. Bagaimanapun, ia berusaha tidak melihat kekurangan dalam diri Miyuki, dan selalu menanamkan kepercayaan diri pada Miyuki agar tidak merasa lemah dan serba kekurangan. Sehingga Miyuki tumbuh hampir layaknya anak seusianya, semangat, ceria, dan percaya diri. Seorang anak yang gigih dan teguh pendiriannya.


Yang perlu dicermati adalah pada awalnya Miyuki tidak sadar bahwa ia buta, karena ia sendiri belum mengerti konsep melihat. Tapi masalah itu muncul setelah ia mulai masuk sekolah, tepatnya saat TK, ia mulai sadar bahwa ia berbeda dengan temannya. Temannya yang menyadarkan bahwa ia tidak bisa melihat. Lalu ia bertanya kepada Michiyo tentang arti melihat. Sadar akan kekurangannya, ini menjadi hal yang menyakitkan bagi Miyuki. Sebetulnya temannya sangat menghargai keberadaannya. Bahkan ia selalu diingatkan bila ia akan melakukan suatu hal yang sekiranya membahayakan. Seperti bermain ayunan dan menggunting sesuatu. Tapi justru karena itulah Miyuki jadi merasa lebih bertanya-tanya tentang kebutaannya. Ia mulai mengeksplorasi lebih banyak lagi tentang dunianya. Oleh karena itulah Miyuki kecil tumbuh menjadi seorang anak yang kuat dan ceria. Berdua dengan Michiyo yang sangat mencintainya, mereka melalui masa-masa yang indah.


Lalu saat memasuki SD kehidupan Miyuki dan Michiyo mulai berubah. Perekonomian mereka semakin sulit dan kebutuhan Miyuki juga semakin banyak. Stress yang dihadapi Michiyo juga semakin menumpuk. Hal ini mempengaruhi sikapnya kepada Miyuki. Miyuki merasa, ibunya berubah menjadi kejam, hingga saat SMP Miyuki bahkan menyebutnya ibu setan. Miyuki merasa ibunya kejam semenjak peristiwa Miyuki belajar naik sepeda. Saat jatuh, Michiyo hanya membiarkan dan melihat dari kejauhan, padahal kaki Miyuki berdarah. Namun menurut pandangan Michiyo, itulah satu-satunya cara agar Miyuki dapat mengerti tentang apa yang disebut dengan kerja keras dan betapa nikmatnya hasil dari semua kerja kerasnya kelak. Sebetulnya Miyuki juga bisa menyadari hal itu, ia menuliskan bahwa ia sampai ”lupa akan kemarahannya” saat mereka berdua begitu gembira ketika Miyuki berhasil mengendarai sepedanya. Tapi sejak saat itu pula, Miyuki memimpikan punya orang tua yang baik hati, yang jauh lebih mengasihinya dibanding ibunya itu. Pertengkaran mereka berdua semakin sengit ketika Miyuki memasuki masa-masa remaja. Bahkan, ibunya pernah sampai meninggalkan rumah, karena tidak kuat bertengkar terus dengan anaknya.


Masalah kembali menghampiri mereka berdua ketika Miyuki memasuki masa SMP. Miyuki menderita penyakit perut misterius, yang walau berkali-kali diperiksa dokter, tetap tidak menunjukkan adanya penyakit pada lambungnya. Dokter Inada hanya menganggap penyakit pubertas yang sudah biasa dialami oleh remaja seusianya. Namun gara-gara penyakit misterius ini, Miyuki sempat putus asa dan serius ingin bunuh diri. Sebetulnya Mchiyo juga merasa sedih akan hal ini. Bahkan ia merasa sudah salah mendidik anaknya dengan keras. Hingga tiba suatu saat Miyuki ingin mengutarakan niatnya bunuh diri, tapi Michiyo tiba-tiba mencekiknya dengan sangat kuat. Pertengkaran hebat terjadi antara mereka berdua. Tapi karena peristiwa ini, akhirnya Michiyo menceritakan masa kecilnya yang kelam, yang membuatnya menjadi sangat keras dalam mendidik Miyuki. Hal ini membuat hati Miyuki tersentuh dan justru kagum kepada Michiyo. Beberapa saat setelah peristiwa itu, penyakit lambung misterius Miyuki secara misterius pula tiba-tiba sembuh. 


Setelah itu karena merasa sudah sehat, Miyukipun melanjutkan lomba pidatonya yang sebelumnya telah ia menangkan di tingkat sekolah. Lomba itu selanjutnya diselenggarakan di tingkat Kyushu. Miyuki yang telah bangkit dari keterpurukan, menulis naskah pidato tentang kisah hidupnya, tentang kasih sayang sekaligus amarah ibunya padanya. Setelah memenangkan kejuaraan pidato tingkat Kyushu, Miyuki mengikuti perlombaan pidato tingkat nasional di Tokyo, yang akhirnya juga ia menangkan. Kemenangan inilah yang membuat Michiyo dan Miyuki sadar bahwa betapa telah jauhnya mereka melangkah. Michiyo tak menyangka bahwa ia, yang tidak pernah mengalami kelembutan kasih sayang dari seorang ibu, telah membawa Miyuki berkembang sejauh itu, iapun merasa bangga terhadap anaknya tersebut. Bahkan hal itu juga menyadarkan Miyuki tentang pentingnya peranan Michiyo, ibunya, dalam membesarkan dan mendidik dirinya menjadi anak yang berhasil melalui keterbatasan dan menunjukkan pada dunia tentang apa yang disebut kekuatan dan semangat juang seorang anak yang terlahir dengan segala keterbatasannya.




Kalau Boleh Bilang...

Hal pertama yang dapat saya katakan adalah saya sangat kagum pada semangat yang dimiliki oleh kedua orang ini. Cara Michiyo dalam mengenalkan dunia kepada Miyuki benar-benar suatu cara yang cerdas. Tanpa mengurangi maknanya, ia bisa menyampaikan segala pengetahuan dengan baik (meskipun ada beberapa yang sulit bahkan tidak bisa, seperti aljabar, konsep indahnya pemandangan, dan konsep warna) sehingga Miyuki dapat memahaminya dengan baik pula. Michiyo telah berhasil mengoptimalkan fungsi indera Miyuki yang lain.

Selain kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman dan kasih sayang juga telah berusaha dipenuhi oleh Michiyo. Meskipun kerap timbul masalah saat ia harus meninggalkan Miyuki sendirian di malam hari dan membuatnya merasa kesepian karena harus bekerja paruh waktu, tapi semua itu dapat dilalui dengan baik. Michiyo telah berhasil memberi pengertian pada Miyuki. Bahkan Miyuki yang butapun bisa merawat dirinya sendiri, seperti ganti pakaian dan bahkan memasak (meskipun sederhana seperti salad). Kebutuhan untuk dihargai dan diakui oleh orang lain semuanya juga telah dimiliki oleh Miyuki. Tapi meskipun begitu, bukan berarti cara mendidik Michiyo telah sepenuhnya baik. Menurut saya sikapnya dalam mendidik Miyuki terlampau keras dan terkadang terlalu mengekang kebebasan Miyuki. Itulah mengapa Miyuki sering berontak dan menjadi anak yang pembangkang. Karena apapun yang dilakukannya adalah kehendak ibunya bukan kehendak dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya Miyuki dapat menerima dan memaklumi sikap ibunya tersebut. Bahkan Miyuki juga tahu apa sebenarnya maksud dibalik cara mendidik Michiyo yang keras tersebut. Ia sadar bahwa itu semua juga demi kebaikannya kelak.


Hal lain yang menarik adalah tentang penyakit lambung misterius yang diderita Miyuki. Sebetulnya hal tersebut juga menjadi pertanyaan bagi saya. Penyakit apakah itu sebetulnya? Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Tapi saya mencoba menjawab, menurut saya penyakit itu timbul karena stress yang menumpuk dalam pikiran sehingga menimbulkan anxiety yang sangat besar pada diri Miyuki. Kecemasan yang sangat besar inilah yang membuat ketahanan tubuh Miyuki melemah. Saat itu Miyuki juga memasuki masa pubertas, masa dimana banyak faktor biologis sedang berkembang, sama dengan remaja normal lainnya. Pada mulanya ia tidak tahan dengan perlakuan Michiyo, ia mendambakan ibu yang lembut dan penuh kasih sayang (yang menurut penggambaran Michiyo sosok itu ada pada dokter Inada). Hal inilah yang membuat saya juga berpikir bahwa tidak menutup kemungkinan penyakit yang dideritanya tersebut berasal dari pikirannya sendiri. Penyakit lambung yang sangat diyakininya, sehingga seolah-olah ia merasakan sakit yang sesungguhnya, walaupun dokter manapun tidak dapat mendeteksi penyakit apa itu sebenarnya.  


Lalu penyakit tersebut hilang dengan sendirinya ketika tiba-tiba ada kabar bahwa temannya sewaktu kecil, yang juga anak dari teman Michiyo, meninggal dunia karena penyakit lambung yang disebabkan karena diet yang berlebihan. Ditambah lagi dengan membaiknya kondisi psikologis Miyuki setelah mendengar kisah memilukan yang dialami Michiyo ketika masih seusia Miyuki. Saat miyuki pulih dari penyakit yang timbul dari pikirannya sendiri, ia bangkit dan mencoba memperoleh prestasi dari lomba pidato. Dengan menulis kisah hidupnya sendiri, Miyuki berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kelemahan itu ada hanya jika kamu melihatnya sebagai kelemahan. Dan prestasi ini membuat Michiyo sangat bangga kepada Miyuki.


Michiyo juga berhasil membawa Miyuki melalui tahap-tahap perkembangannya dengan cukup baik, karena meskipun Miyuki memiliki keterbatasan fisik, tugas-tugas perkembangannya dapat terlaksana tepat pada masanya. Baik kemampuan sensori-motorik (lihat bagaimana cara Michiyo memberi stimulasi pada Miyuki saat ia masih bayi), kognitif, bahasa, sosialisasi, dan berpikir moral, semuanya dapat berlangsung normal. Ini karena kerja keras Michiyo dalam mendidik Miyuki. Ia tidak pernah lelah memenuhi keingintahuan Miyuki yang sangat besar. Dengan sabar ia membimbing Miyuki memasuki masanya, bahkan dengan hati yang lapang pula Michiyo mau menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialaminya. Walaupun kerap terjadi pertengkaran antara mereka berdua saat Miyuki beranjak remaja, namun keduanya pada dasarnya saling membutuhkan dan saling menyayangi. Karena bagi Miyuki, hanya seorang ibunyalah yang ia miliki, begitu juga sebaliknya bagi Michiyo, hanya Miyukilah yang ia miliki. 
Sungguh benar-benar luar biasa apa yang ditunjukkan oleh ibu dan anak ini pada kita semua baik yang dianugerahi olehNya “kenormalan” maupun yang dianugerahi “ketidaknormalan”, bahwa justru keterbatasanlah yang membawa mereka pada kerekatan antara seorang ibu dan putrinya. Mereka menunjukkan bahwa pengetahuan dan dunia ini sebenarnya terbuka secara lebar untuk membiarkan kita masuk dan memahami segala maknanya tanpa ada batasan sedikitpun, termasuk keterbatasan indera.

Tidak ada komentar: