Senin, 05 Juli 2010

Fenomena "The Ceiling-Glass"


Fenomena ceiling-glass menjadi topik yang sering diperbincangkan baik di Indonesia maupun di dunia. Hal tersebut tampak saat fenomena ini menjadi salah satu masalah utama yang ingin dipecahkan oleh lembaga PBB yang menaungi buruh sedunia atau yang dikenal dengan ILO (International Labour Office). ILO telah melakukan berbagai penelitian yang dapat menggambarkan fenomena tersebut di seluruh dunia. Secara keseluruhan situasi wanita dalam dunia kerja tidak mengalami perkembangan yang signifikan sejak 2001. The ILO’s Global Employment Trends (2003) melaporkan bahwa wanita masih tetap memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dunia pekerjaan, memiliki tingkat pengangguran yang tinggi, dan gaji yang sangat senjang bila dibandingkan dengan pria (dalam “Breaking Through The Glass Ceiling”, 2004).

Di negara maju seperti Amerika, fenomena ceiling-glass juga terjadi. Sebuah riset yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika (dalam Yoder, 2003: 215), dengan mengambil sampel 500 perusahaan, melaporkan bahwa dari total 147.179 tenaga kerja, 37,2% adalah wanita dan hanya 6,6% dari mereka yang mencapai jabatan top executive (wakil presiden direktur atau di atasnya).

Di Indonesia tahun l980, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) wanita tercatat sebesar 32,7%, tahun l985 menjadi 37,95%, dan tahun l990 naik lagi menjadi 39,2% serta tahun l995 sudah mencapai 41%. Pada tahun l990, jumlah wanita yang bekerja mencapai 25,8 juta orang dari total 89 juta penduduk wanita. Peningkatan itu umumnya terjadi pada wanita usia produktif, usia 20-39 tahun (dikutip dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).

Dalam bidang pengambilan keputusan dan politik, meskipun angka keterwakilan perempuan di legislatif meningkat, namun angka keterwakilan perempuan masih dibawah 30%. Berdasarkan data hasil pemilu 2009 keterwakilan perempuan meningkat dari 10,7% (2004) menjadi 17,6% (2009). Sementara keterwakilan perempuan di sektor eksekutif (PNS) yang menduduki jabatan struktural tahun 2008 adalah 21,4%. Semakin tinggi eselon semakin senjang perbedaan komposisi perempuan dan laki-laki, dimana jumlah laki-laki semakin meningkat (dikutip dari website Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa wanita di dunia dan di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam dunia kerja meskipun tidak terlalu signifikan. Meskipun saat ini menunjukkan bahwa wanita sudah dapat dengan leluasa memilih karir, namun dalam konteks “keluarga” masih tampak berlakunya konsep gender. Sebagai contoh istri yang bekerja masih harus memperhitungkan perasaan suami dengan tidak mau meraih posisi yang lebih tinggi dari suami sehingga sering mereka bekerja tanpa ambisi. Sering timbul dilema bagi dirinya untuk memilih antara karir dan keluarga.

Dari segi upah masih banyak dijumpai bahwa kaum perempuan menerima upah lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama, juga perbedaan kesempatan yang diberikan antara karyawan perempuan dan laki-laki di mana laki-laki lebih diprioritaskan (dalam Yoder, 2003). Untuk menjelaskan proses terjadinya fenomena gender dalam dunia kerja ini akan digunakan dua pendekatan. Pertama menggunakan teori dalam konteks sosial, yaitu teori neo-klasik dan teori segmentasi pasar.

Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai variabel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaan- perbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber daya mereka secara rasional. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986 dalam Susilastuti dkk, 1994).

Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia prima (prime-age) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut sebagai primary jobs. Sedangkan secondary jobs, tidak menjanjikan jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen ini (Chiplin dan Sloane, 1982).

Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibatkan oleh karena perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male dominated jobs, sehingga perempuan terkonsentrasi secara berlebih dalam suatu kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan (Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan pekerjaan perempuan ini menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah berbeda-beda pada masing-masing tahap siklus tersebut.

Setelah melihat secara konteks sosial, maka pendekatan yang kedua adalah secara psikologis. Helen Astin (dalam Brannon, 1999: 318) merumuskan perbedaan dan persamaaan gender untuk menjelaskan perkembangan karir antara perempuan dan laki-laki. Terdapat empat komponen dalam Astin’s Model yaitu motivasi, pengharapan, sosialisasi peran gender, dan kesempatan. Ia berpendapat bahwa motivasi sama antara perempuan dan laki-laki tetapi pengharapan mereka mengarahkan perbedaan pada pola sosialisasi peran gender. Kedua perbedaan dalam sosialisasi peran gender dan kesempatan menciptakan hasil yang berbeda dalam kemampuan kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dengan pendapatan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan yang lebih berkelas dan memiliki variasi kerja yang lebih luas daripada perempuan.

Penelitian lain yang dilakukan di Indonesia oleh Alfadioni Putri dan Himam (Universitas Gadjah Mada) menjelaskan fenomena ceiling-glass dalam konteks perempuan yang sudah berkeluarga. Studi tersebut menggambarkan kesulitan perempuan berkeluarga dalam menerobos fenomena ceiling-glass. Seorang ibu yang memutuskan untuk berkarir memiliki dilema tersendiri, karena mereka harus melakukan “karir ganda” yaitu sebagai ibu dan juga sebagai wanita karir.

Perempuan yang menjadi istri sekaligus pekerja, cenderung membawa mereka pada work-family conflict. Meskipun laki-laki juga dapat mengalami work-family conflict, tetapi perempuan tetap menjadi sorotan utama karena berkaitan dengan tugas utama mereka sebagai ibu dan istri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cinamon dan Rich (2002) menunjukkan ibu yang bekerja ternyata lebih sering mengalami work à family conflict dan lebih mementingkan family à work conflict, ketika keluarga sebagai domain yang paling penting bagi kebanyakan perempuan mempengaruhi pekerjaan, dapat menjadi gangguan bagi mereka, tapi hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Berbeda ketika pekerjaan mempengaruhi keluarga dianggap kurang sesuai atau kurang dapat ditoleransi dan lebih dianggap konflik. Selain itu, ibu di tempat kerjanya biasanya juga mendapat perlakuan yang berbeda daripada rekan kerja yang laki-laki. Mereka dianggpa akan sulit memanfaatkan kesempatan yang berkaitan dengan geographic mobility karena adanya asumsi bahwa mereka tidak ingin dipindah karena pertimbangan keluarga. Adanya asumsi tersebut dapat menjadi penghambat ibu yang bekerja untuk kemajuan diri mereka (Lyness dan Thompson, 2000).

Pendapat hampir serupa diungkapkan oleh Martina Horner (1969), ia membahas terjadinya fenomena ceiling-glass akibat adanya ketakutan wanita akan sukses. Horner mengemukakan bahwa wanita-wanita memiliki konsekuensi negatif yakni adanya ketakutan dari kesuksesan yang didapatnya, atau suatu alasan untuk menghindari kesuksesan yang ada. Dia memberi alasan bahwa wanita-wanita menyamakan sukses dengan hilangnya kewanitaan dan merasakan khawatir akan kesuksesan, terutama ketika hal itu melibatkan situasi dalam “bersaing“ dengan orang lain (laki-laki). Penyelidikannya menunjukkan, wanita-wanita sering melakukan pekerjaan secara aktif dengan lebih baik ketika mereka sendirian atau ketika mereka sedang melakukan kompetisi dengan wanita-wanita yang lain dibandingkan ketika mereka harus bersaing melawan terhadap orang lain (laki-laki).

Horner menyimpulkan kompetisi itu adalah suatu faktor negatif di dalam prestasi wanita dengan melihat situasi berprestasi melalui cara yang berbeda dibandingkan yang orang lakukan. Horner menggunakan istilah "ketakutan dari kesuksesan dan alasan untuk menghindari sukses", label ini adalah sedikit banyaknya yang menyesatkan, ketika mereka menyiratkan bahwa wanita-wanita tersebut tidak ingin berhasil. Apa yang dia alami pada ketakutan dari kesuksesan mungkin menurut pengakuan dari wanita-wanita yang sukses di dalam profesi yang lebih mendominasi pada wanita, tidaklah secara sosial dapat diterima untuk para wanita, dan itu sukses akan mempunyai hal negatif seperti halnya konsekuensi yang bersifat positif untuk para wanita.

Horner menemukan bahwa kompetisi bisa menimbulkan permasalahan untuk kepentingan para wanita. Dia tidak menunjukkan bahwa wanita mencoba untuk menghindari kesuksesan, akan tetapi bahwa mereka itu sudah mengantisipasi dan mencoba untuk mengatur sebagian dari konsekuensi yang bersifat negatif yang sebenarnya mereka percaya akan ada (menemani) pada kesuksesan yang diraih di dalam berbagai bidang yang didominasi oleh para wanita. Konsekuensi yang bersifat sosial tentang sukses di dalam karier modern (non-tradisional) mungkin masih ada dan pernah dialami oleh para perempuan pada umumnya.

Dari beberapa teori dan penelitian di atas, serta hasil wawancara yang dilakukan kepada subjek, dapat disimpulkan bahwa stereotipe negatif tentang keahlian dan kompetensi perempuan menghalangi perempuan untuk meraih kemajuan dalam karirnya, sehingga untuk dapat diterima dan diakui dalam dunia karir, perempuan harus dapat membuktikan bahwa dirinya benar-benar memiliki keahlian dan kompetensi.

Stereotipe yang berkembang di masyarakat saat ini menempatkan perempuan pada kegiatan-kegiatan domestik yang pada akhirnya mendorong mereka pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak sehingga banyak menyita waktu mereka dalam karir. Hal tersebut menyebabkan perempuan terhambat untuk berkonsentrasi secara penuh dalam karir, seperti yang dilakukan oleh laki-laki pada umumnya. Asumsinya adalah untuk menjadi pekerja yang ideal dan mampu mendedikasikan diri dalam karir tertentu, perlu ada seseorang lainnya yang mendukung dan menjalankan peran-peran di dalam rumah. Biasanya, perempuan secara sosial dianggap sebagai seseorang yang tepat untuk menjalankan peran-peran dalam rumah dan laki-laki yang mendedikasikan dirinya dalam karir. Menurut peran gender wanita secara tradisional, perempuan diasumsikan sebagai individu yang memiliki tanggung jawab paling besar dalam tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan anak. Tuntutan tersebut nampak lebih ketat pada perempuan. Perempuan yang lebih memilih untuk fokus pada karir, dianggap telah mengabaikan keluarga mereka. Pada peran gender tradisional, peran laki-laki dalam keluarga adalah sebagai pencari nafkah. Hal tersebut menyebabkan fokus laki-laki pada pekerjaan dan karir dianggap sebagai persembahan mereka terhadap keluarga dan konsekuensinya, membawa laki-laki jauh dari keluarganya dan lebih memilih menghabiskan waktu mereka untuk karir. Laki-laki yang lebih memilih menghabiskan waktu mereka untuk karir, secara sosial lebih dapat diterima daripada perempuan. Tetapi itu tidak terjadi bila sebaliknya, perempuan yang lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berkarir, kurang bisa diterima secara sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress.

ILO. (2004). Breaking Through The Glass Ceiling. Geneva: International Labour Office.

Junaidi. (2008). Kajian Teoritis Mengenai Ketimpangan Gender. Diakses dari http://conteseo.blogspot.com/2008/10/kajian-teoritis-mengenai-ketimpangan.html, tanggal 25 Juni 2010.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2010). Press Release
Rapat Koordinasi Nasional Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Tahun 2010 Bekasi, 14Juni2010
. Dari http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=262:rakornas-pembangunan-pp-dan-pa-tahun-2010&catid=36:press-release&Itemid=87 diakses tanggal 27 Juni 2010.


Nederland, Wereldomroep Radio. (2009). Dikutip dari http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/puskapol20090507-redirected diakses pada tanggal 28 Juni 2010.

Yoder, J.D. (2003). Women and Gender: Transforming Psychology. New Jersey: Pearson Education.


Sabtu, 12 Juni 2010

Tugu Pahlawan - Surabaya


Alamat : Jl. Pahlawan & Patih SURABAYA 

No. Telp: (031) 3571100

 

Ini nih ikon Surabaya!!! Tugu Pahlawan. Kalau kita bicara Tugu yang satu ini pasti kita bakalan ingat sama peristiwa 10 November .. Hmm…  Tempoe doeloe banget ya…  Maka dari itu sebagai arek Suroboyo, saya akan mencoba memberi sedikit informasi tentang Tugu Pahlawan, Tugu kita tercinta. Hahahaaha..

Tugu ini berlokasi di Taman Kebunrojo bersebrangan dengan kantor Gubenur Jawa Timur di Jl. Pahlawan.  Monumen Tugu Pahlawan ini memang dibangun untuk mengenang jasa arek-arek Suroboyo tempoe doeloe yang sudah berjuang melawan tentara penjajah dan konon katanya korban mencapai 10.000 umat manusia jeh!!  Tugu Pahlawan didirikan pada tanggal 10 November 1951, dan diresmikan tepat satu tahun kemudian oleh presiden pertama RI, Ir. Soekarno.

Lokasi yang sekarang dipakai untuk penempatan Tugu Pahlawan, merupakan bekas lokasi yang semula dipakai untuk gedung pengadilan Belanda yang berguna untuk mengadili orang-orang pribumi ataupun orang-orang Belanda yang melakukan pelanggaran hukum dan bangunan ini dikenal dengan sebutan “Raat Vanyustisi”.  Dulu disekitar kawasan gedung pengadilan tersebut hanya terdapat bangunan kantor gubernur, gedung bioskop, dan tempat pemberhentian bis susun.

Nah, di bawah Tugu Pahlawan ada Museum 10 November. Pembangunan museum 10 November ini  baru diresmikan pada tahun 1998. Pada saat itu museum tersebut telah berisikan barang-barang sejarah yang dipakai oleh arek-arek Suroboyo untuk melawan para sekutu, juga didalam museum tersebut terdapat cerita-cerita perjuangan mereka dalam menyusun strategi untuk melawan sekutu, serta terdapat pula miniatur tentang kawasan mana saja yang dipakai pada saat perlawanan terhadap sekutu.

Begitulah informasi dari saya nih.. Kalau ada yang salah mohon maaf dan silahkan dibenarkan informasinya. Hehehe.. Suwun jeh!!!!